الأربعاء، 14 سبتمبر 2011

?Bagaimana Kita Memahami Nash

Diantara umat Islam yang mengaku ulama' atau pakar ajaran Islam ada orang yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah ulama' salaf yang saleh. Mereka mengaku sebagai pengikut para ulama' salaf – juga mengaku Ahlu Sunnah Wal Jama'ah. Dengan gagah berani dan penuh kebaggaan, mereka mengajak umat Islam untuk mengikuti jejak langkah atau Sunnah para ulama' salaf yang saleh dengan cara-cara primitif, penuh kebodohan, fanatisme buta, dengan pemahaman yang dangkal dan dengan dada (pengertian) yang sempit. Bahkan, mereka juga berani memerangi setiap sesuatu yang yang baru dan mengingkari setiap penemuan yang baik dan berfaedah hanya karena dinilai – oleh pemahaman mereka yang sempit – sebagai bid'ah. Dalam pemaham mereka, tidak ada sesuatu yang bid'ah kecuali pasti menyesatkan. Mereka tidak mau melihat adanya realitas yang menuntut adanya pembedaan antara bid'ah hasanah dan bid'ah dlalalah, "yang menyesatkan". Padahal, ruh Islam menghendaki adanya pembedaan
antara berbagai bid'ah yang ada. Semestinya umat Islam mengakui bahwa bid'ah itu ada yang baik dan ada yang sesat atau menyesatkan. Yang demikian itulah yang menjadi tuntutan akal yang cerdas dan pemahaman atau pandangan yang cemerlang.

Itulah yang di-tahqiq atau diakui kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh para ulama ushul (fiqh) dari kalangan ulama' salaf yang saleh, seperti Imam Al Izz bin Abdussalam, Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Imam Jalaluddin Al Mahally, dan Imam Ibnu Hajar – rahimahumullah Ta'ala.

Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw – untuk menghindari kesalah pahaman – perlu ditafsiri sebagiannya dengan sebagian hadits yang lain, dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadits-hadits lainnya. Umat islam perlu memahami sabda Rasulullah Saw itu dengan pemahaman yang cermat dan komprehensif, sempurna dan menyeluruh. Jangan sekali-kali memahaminya secara persial atau sepotong-sepotong. Ia juga mesti dipahami dengan ruh Islam dan sesuai dengan pendapat para ulama' salaf yang saleh.

Oleh karena itu, kita menemukan banyak hadits yang untuk memahaminya secara benar diperlukan kecemerlangan akal, kecerdasan intelektual, dan pemahaman yang mendalam serta disertai hati yang sensitif yang pemaknaan dan pemahamannya didasarkan pada "lautan syariat Islam" sambil memperhatikan kondisi dan situasi umat islam dan berbagai kebutuhannya. Situasi dan kondisi umat memang harus diselaraskan dengan batasan-batasan kidah Islam dan teks-teks Al Qur'an dan Sunnah nabi Muhammad Saw; tidak boleh keluar darinya.

Diantara contoh hadits yang perlu dipahami secara benar dan komprehensif, proporsional, dan sempurna adalah sabda Nabi Muhammad Saw berikut:

كل بدعة ضلالة

Setiap bid'ah adalah dlalalah, "menyesatkan"

Untuk memahami hadits seperti itu, kita mesti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut adalah bid'ah sayyi'ah, yakni bid'ah yang salah dan mnyesatkan. Bid'ah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad Saw tersebut adalah suatu peribadahan yang tidak didasarkan pada ajaran pokok agama Islam.

Pendekatan yang seperti itu pula yang harus digunakan untuk memahami berbagai hadits, seperti hadits berikut:

لا صلاة لجار المسجد إلا في المسجد

Tidak ada salat – yang sempurna – bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan) didalam masjid.

Hadis di atas, meskipun mengandung "pembatasan" (hashr) yakni menafikan salat dari tetangga masjid, tetapi kandungan umum dari berbagai hadis lain mengenai salat mengisyaratkan bahwa hadis tersebut perlu dapahami dengan sautu kayyid atau pengikat. Maka pengertiannya, tidak ada salat (fardhu) yang sempurna bagi tetangga masjid, kecuali di masjid.

Begitu pula berkenaan dengan hadits Rasulullah Saw dibawah ini:

لا صلاة بحضرة الطعام

Tidak ada salat dengan (tersedianya) makanan.

Maksudnya, tidak ada salat yang sempurna jika makanan telah tersedia. Seperti itu pula pendekatan yang harus kita gunakan untuk memahami hadits berikut:

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

Tidak beriman – dengan keimana sempurna – salah seorang diantaramu kecuali ia mencintai sesuatu untuk saudaranya seperti ia mencintainya untuk (kepentingan) dirinya.

Bagitu juga hadits berikut:

والله لا يؤمن والله لا يؤمن والله لا يؤمن ، قيل : من يا رسول الله ؟ قال : من لم يأمن جاره بوائقه

"Demi Allah, tidak beriman; demi Allah tidak beriman; deni Allah tidak beriman – dengan keimanan yang sempurna." Ada yang bertanya: "Siapakah - yang tidak sempurna keimanannya itu – wahai Rasulullah?" Dia bersabda: "Orang-orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya."

لا يدخل الجنة قتات

Tidak masuk surga pengadu domba.

ولا يدخل الجنة قاطع رحم، وعاق لوالديه

Tidak masuk surga pemutus tali persaudaraan. Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Menurut para ulama', yang dimaksud tidak masuk surga itu adalah tidak masuk secara baik dan utama, atau tidak masuk surga jika menganggap halal atau boleh melakukan perbuatan munkar seperti itu. Jadi, para ulama' – atau pakar – itu tidak memahami hadits menurut lahirnya; mereka memahaminya melalui takwil.

Maka harus seperti itulah memahami hadits tentang bid'ah. Keumuman kandungan berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat yang mengesankan bahwa yang dimaksud dengan bid'ah dalam hadits tersebut hanyalah bid'ah sayyia'ah (bid'ah yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran agama Islam); tidak semua bid'ah.

Cobalah kita perhatikan hadits-hadits berikut ini:

من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة

Siapa yang menetapkan – atau melakukan – suatu kebiasaan (Sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين

Hendaklah kamu sekalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang cerdik pandai dan mendapat petunjuk...

Perhatikan juga perkataan Umar bin Khattab ra. mengenai salat tarawih: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini." (Yakni, melakukan salat tarawih dengan berjama'ah)
... Wallahu a'lam.

Dari terjemah kitab Abuya Mafahim Yajibu an Tushshhah

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق