الأحد، 11 مارس 2012

Persamaan Antara Memasak Dan Berijtihad

:: Persamaan Antara Berijtihad Dan Memasak ::


Tiba-tiba terlintas dibenakku, bahwa berijtihad yang digeluti para ulama' tidak jauh beda dengan memasak. Didalam memasak sebuah masakan tentunya dibutuhkan resep-resep sekaligus tata cara pengolahannya, sehingga jadilah masakan yang diinginkan. Terkadang rasa masakan masing-masing koki berbeda satu sama lain. Hal itu disebabkan berbedanya citarasa yang mereka miliki. Ada satu ungkapan yang tidak asing di telinga kita "resep boleh sama, tapi rasa harus beda".

Begitu pula berijtihad, sebelum para mujtahid memutuskan beberapa hukum, mereka membutuhkan resep-resep dan tatacara pengolahannya, sehingga dihasilkan hukum yang diinginkan. Mengenai resep-resepnya adalah:
1- Al-Quran + tafsirnya
2- Ilmu al-Quran (seperti nasikh mansukh dll)
3- Hadits
4- Mushtholah hadits
5- Ushul fiqih (asas-asas fiqih)
6- Qowa'id fiqihiyah (kaidah-kaidah fiqih)
7- Nahwu dan Shorof
8- Bahasa arab
9- Sastra arab (seperti: balaghoh, bayan, badi', dll) secukupnya.

Jangan heran bila kita sering mendapatkan banyak perselisihan dalam pendapat para ulama'. Sebagaimana tertera diatas, hal itu disebabkan citarasa mereka yang berbeda dalam mengolah resep-resep tersebut. Dan terkadang disebabkan adanya resep tambahan yang menurut mereka diperlukan, seperti:
- 'Amalu ahlil madinah (pekerjaan penduduk Madinah)
- Saddud dzari'ah (menutup peluang)
- Masholihul mursalah (mashlahat)
- Istihsan dan lain sebagainya.
Terkadang pula dikarenakan terdapat kesalahan dalam mengolah resep tersebut, sehingga hukum yang dihasilkan pun salah, sekalipun demikian dia masih memperoleh satu pahala sebagaimana dalam sebuah hadits.

Hal diatas terlepas dari pendapat sebagian ulama, seperti ibn Sholah dan pengikutnya yang mengatakan bahwa peluang untuk berijtihad sudah tertutup mulai penghujung abad ke tiga dari wafat Rosulullah SAW. Akan tetapi pendapat jumhur, bahwa peluang untuk berijtihad tidak tertutup hingga hari kiamat.


Mungkinkah kita berijtihad?

Melihat dari resep yang tertera diatas, memang kelihatannya sepele, namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Seperti kita yang kerjaannya suka berleha-leha dalam mencari ilmu rupanya belum pantas untuk mengaku mujtahid, apalagi sampai mengaku mujtahid mutlak sebagaimana para imam pendiri madzhab. Imam ar-Romli yang hidup sekitar lima abad silam pernah berkata: "bila dizaman ini ada orang yang mengaku mujtahid mutlak, berarti akalnya kurang beres".

Yang saya herankan, ada sebagian kelompok yang menafikan taqlid (mengikuti) salah satu madzhab. Mereka beranggapan bahwa mereka berhak untuk berijtihad, bahkan sebagian dari mereka yang hanya berpegangan al-Qur'an dan Hadits terjemahan juga ikut-ikutan mengaku mujtahid. Tidak jarang ungkapan kurang sopan terlontar dari mulut mereka "apa perbedaan antara saya sama Syafi'i? Dia berhak berijtihad saya pun juga berhak". Kira-kira apa komentar imam Romli terhadap orang semacam ini?!
Allahu yahdiihim....!!

(( Rushaifah, lailah 10 Robi' Ì 1433 H ))

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق