السبت، 17 مارس 2012

:: Penjara Suci ::


Bagi teman-teman yang senasib dan seperjuangan, diakui atau tidak bahwa kita ini berada ditempat yang tak jauh beda dengan penjara. Kita dikekang, nggak bisa kesana kemari dan pola hidup pun ala kadarnya, tak peduli dia anaknya orang menengah ke atas atau menengah ke bawah, semua sama. Namun kita harus tahu, kita masuk penjara suci ini adalah pilihan hati nurani kita, bukan paksaan siapapun dan semata-mata Lillahi Ta'ala.

Nah, karena hal itu adalah pilihan dan karena Allah, pasti Allah SWT akan mengganti umur yang telah kita persembahkan untuk-Nya dengan hal yang jauh lebih mulia. Karena itu merupakan sunnatullah atau sunnah kauniyyah (hukum alam) yang akan berlaku hingga hari kiamat kelak, Allah berfirman:
ولن تجد لسنة الله تبديلا
"Dan tidaklah sekali-kali kamu akan mendapatkan perubahan dalam sunnatullah"

Rosullah SAW bersabda:
من ترك شيئا لله أبدله الله خيرا منه
"Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih mulia".

Nabi Yusuf 'alaihissalam ketika memilih masuk penjara ketimbang ajakan para wanita, sebagaimana firman Allah:
رب السجن أحب الي مما يدعونني إليه
"Wahai tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka..." (Qs. Yusuf: 33)

Disebutkan oleh ibn Katsir dalam tafsirnya, sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Nabi Yusuf berada dalam penjara tidak kurang dari empat belas tahun. Akhirnya Allah SWT membalasnya dengan kedudukan yang tinggi di dunia sebagaimana dalam al Qur'an:
وكذلك مكنا ليوسف في الأرض يتبوء منها حيث يشاء
"Dan demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negri ini (Mesir) untuk singgah kemana saja yang ia kehendaki" (Qs. Yusuf: 56)

Begitupula ganjaran melimpah di akhirat, sebagaimana disebutkan di ayat berikutnya:
ولأجر الآخرة خير للذين آمنوا وكانوا يتقون
"Dan sungguh, pahala akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan selalu
bertaqwa" (Qs. Yusuf: 57)
Begitulah sunnatullah bagi siapa saja yang rela dipenjara dan rela meninggalkan sesuatu karena-Nya.

Jadi janganlah kita berkecil hati dalam hal ini. Kita perbaharui lagi niat kita, kita tata lagi semangat kita. Janganlah ragu-ragu dengan janji Allah, karena Allah tidak akan ingkar terhadap janji-Nya.


(( Rsf,25 04 33 H ))

الأحد، 11 مارس 2012

NU dan MD

Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.





Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari kuto Ngayogyokarto. Sementara kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia. Allahumm ighfir lahum.



Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu.



Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain : Pertama, shalat tarawih, sama-sama dua puluh rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat tarawih dua puluh rakaat di masjid Syuhada Yogya. Kedua, talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan (?). Ketiga, baca doa qunut Shubuh. Keempat, sama-sama gemar membaca shalawat (diba'an).



Kelima, dua kali khutbah dalam shalat Id, Idul Ftri dan Idul Adha. Keenam, tiga kali takbir, "Allah Akbar", dalam takbiran. Ketujuh, kalimat Iqamah (qad qamat al-shalat) diulang dua kali, dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.



Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitaf Fikih Muhammadiayah yang terdiri dari tiga jilid, yang diterbitkan oleh : Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktik ibadah yang rupanya " harus beda " dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail, nanti difikir bareng dan dicari-carikan.



Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah Tesis yang meneliti Hadis-hadis yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.



Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah : bahwa mayoritas Hadis-Hadis yang pakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha'if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma'in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha'if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau Fadha'il al-a'mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Ygyakarta.



Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktik ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih depalan plus tiga witir, bagaimana praktiknya ?.



Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi : 4,4,3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk tarawih. Dan tiga rakaat untuk witir. Model witir tiga sekaligus ini vrsi madzahab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu witir. Ini versi al-Syafi'ie.



Tapi pada tahun 1987, praktik shalat tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadis dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadis Muslim lebih shahih ketimbang Hadis empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan majlis tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushallah di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.



Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai deprtemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu pakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama mengunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai Hadis rukyah dan ikmal.



Oleh karena itu, tahun 90an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh departemen agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.



Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.



Lalu membuat metode "wujud al-hilal". Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadis yang dulu dielu-elukan, ayat al-Qur'an berisikan seruan " taat kepada Allah, Rasul dan Ulil amr " dibuang dan arergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.



Populerkah metode "wujud al-hilal" dalam tradisi keilmuwan falak ?. Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupu sekarang.



Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus berajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya tak kan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.



Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat ?.



Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain ?.



Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu' atau teropong moderen sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.



Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan majlis tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelamahan akademik pasti ada. Minal aidin al-faizin, mohon maaf lahir dan batin.



Oleh: KH. Ahmad Musta'in Syafi'i



sumber :



http://warkoplalar.blogspot.com/2012/02/nu-mu-riwatayatmoe-doeloe.html?showComment=1330707896531#c1928586527334254671


Persamaan Antara Memasak Dan Berijtihad

:: Persamaan Antara Berijtihad Dan Memasak ::


Tiba-tiba terlintas dibenakku, bahwa berijtihad yang digeluti para ulama' tidak jauh beda dengan memasak. Didalam memasak sebuah masakan tentunya dibutuhkan resep-resep sekaligus tata cara pengolahannya, sehingga jadilah masakan yang diinginkan. Terkadang rasa masakan masing-masing koki berbeda satu sama lain. Hal itu disebabkan berbedanya citarasa yang mereka miliki. Ada satu ungkapan yang tidak asing di telinga kita "resep boleh sama, tapi rasa harus beda".

Begitu pula berijtihad, sebelum para mujtahid memutuskan beberapa hukum, mereka membutuhkan resep-resep dan tatacara pengolahannya, sehingga dihasilkan hukum yang diinginkan. Mengenai resep-resepnya adalah:
1- Al-Quran + tafsirnya
2- Ilmu al-Quran (seperti nasikh mansukh dll)
3- Hadits
4- Mushtholah hadits
5- Ushul fiqih (asas-asas fiqih)
6- Qowa'id fiqihiyah (kaidah-kaidah fiqih)
7- Nahwu dan Shorof
8- Bahasa arab
9- Sastra arab (seperti: balaghoh, bayan, badi', dll) secukupnya.

Jangan heran bila kita sering mendapatkan banyak perselisihan dalam pendapat para ulama'. Sebagaimana tertera diatas, hal itu disebabkan citarasa mereka yang berbeda dalam mengolah resep-resep tersebut. Dan terkadang disebabkan adanya resep tambahan yang menurut mereka diperlukan, seperti:
- 'Amalu ahlil madinah (pekerjaan penduduk Madinah)
- Saddud dzari'ah (menutup peluang)
- Masholihul mursalah (mashlahat)
- Istihsan dan lain sebagainya.
Terkadang pula dikarenakan terdapat kesalahan dalam mengolah resep tersebut, sehingga hukum yang dihasilkan pun salah, sekalipun demikian dia masih memperoleh satu pahala sebagaimana dalam sebuah hadits.

Hal diatas terlepas dari pendapat sebagian ulama, seperti ibn Sholah dan pengikutnya yang mengatakan bahwa peluang untuk berijtihad sudah tertutup mulai penghujung abad ke tiga dari wafat Rosulullah SAW. Akan tetapi pendapat jumhur, bahwa peluang untuk berijtihad tidak tertutup hingga hari kiamat.


Mungkinkah kita berijtihad?

Melihat dari resep yang tertera diatas, memang kelihatannya sepele, namun kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Seperti kita yang kerjaannya suka berleha-leha dalam mencari ilmu rupanya belum pantas untuk mengaku mujtahid, apalagi sampai mengaku mujtahid mutlak sebagaimana para imam pendiri madzhab. Imam ar-Romli yang hidup sekitar lima abad silam pernah berkata: "bila dizaman ini ada orang yang mengaku mujtahid mutlak, berarti akalnya kurang beres".

Yang saya herankan, ada sebagian kelompok yang menafikan taqlid (mengikuti) salah satu madzhab. Mereka beranggapan bahwa mereka berhak untuk berijtihad, bahkan sebagian dari mereka yang hanya berpegangan al-Qur'an dan Hadits terjemahan juga ikut-ikutan mengaku mujtahid. Tidak jarang ungkapan kurang sopan terlontar dari mulut mereka "apa perbedaan antara saya sama Syafi'i? Dia berhak berijtihad saya pun juga berhak". Kira-kira apa komentar imam Romli terhadap orang semacam ini?!
Allahu yahdiihim....!!

(( Rushaifah, lailah 10 Robi' Ì 1433 H ))

:: Air Dan Minyak ::

Suatu ketika terjadi dialog singkat antara air dan minyak zaitun.
Air: "hai minyak, setiap kita kumpul di satu tempat mengapa posisimu selalu diatasku? Tak peduli tempat itu dibolak balik, diaduk, bahan dikocok sekalipun pada akhirnya engkaulah di atasku, bukankah kita sama-sama cair?".
Minyak: "Betul, kita sama-sama cair, tapi mengapa aku selalu diatasmu? karena sebelumnya aku telah melewati tahap-tahap dan banyak proses. Mulai diperas, dipanaskan, diuapkan dsb hingga aku menjadi seperti sekarang ini. Sedangkan kamu, hampir semua waktumu untuk refreshing, mulai dari melintasi lereng pegunungan, bukit, pedesaan, perkotaan hingga ke pantai. Jadi jangan salahkan jika posisiku sekarang di atasmu".

Begitu pula seseorang yang menghabiskan masa mudanya untuk bekerja keras, banting tulang dan peras keringat, dipastikan ia akan menuai hasilnya di masa depan kelak. Terlebih bagi yang menuntut ilmu agama, ia akan mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah SWT sebagaimana termaktub dalam al Qur'an. Lain halnya dengan seseorang yang menghabiskan masa mudanya degan berfoya-foya, happy-happy dan 'kemana mana asalkan suka', jangan berharap akan meraih kesuksesan dan jangan bermimpi untuk memperoleh posisi diatas.

Monyet

Ada seekor monyet yang lagi nyantai diatas pohon. Tiba-tiba datang angin yang begitu kencang menerpa, monyet pun mendekap erat pohon tersebut hingga angin berhenti. Setelah itu datang angin susulan yang lebih kencang lagi, monyet pun mendekap pohon lebih erat hingga angin itu selesai. Oh, lagi-lagi datang angin susulan, tapi yang ini tampaknya lebih kencang dari sebelumnya, karena ini adalah angin puting beliung. Monyet pun mempersiapkan dirinya untuk menyambut tantangan yang ke tiga ini. Ia dekap pohon tersebut dengan kedua tangan dan kedua kaki sekaligus menggabungkan jari jemarinya. Alhamdulillah ternyata ia berhasil menghadapinya. Terakhir, hadirlah angin sepoi-sepoi menyapa si monyet, ia mulai merenggangkan tangan dan kakinya, matanya mulai 'kriyep-kriyep' dan terpejam sedikit demi sedikit, ia mulai tertidur dan akhirnya "Bluuggg.." ia jatuh.

Begitulah sebagian orang, terkadang ia tegar ketika menghadapi cobaan, bahkan semakin berat cobaannya semakin banyak pula ibadahnya. Namun ketika diuji oleh Allah SWT dengan kenikmatan, ia mulai melupakan Allah. Semakin ia bergelimang dg kenikmatan, semakin sedikit ibadahnya dan semakin jauh dari Allah. Allah SWT berfirman:

ونبلوكم بالشر والخير فتنة
"Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan" (QS: Al anbiya': 35)
Ada sebuah ungkapan:

قد ينعم الله بالبلوى وإن عظمت # و يبتلى الله بعض القوم بالنعم
"Terkadang Allah memberi kenikmatan kepada sebagian orang dengan berupa cobaan, dan memberi cobaan dengan berupa kenikmatan".

Semoga kita semua diberi taufiq oleh Allah SWT....

(( Mkh,16/4/33 ))